Senin, 21 Juli 2008

Classic Way of Healthy Eating: Eat Before Hungry and Stop Before Stuffed

As we know, eating is one of the most important things that we must do continuously in our life. Why must we eat continuously? Because, by eating continuously as suitable as we need, we have an ability to survive in our life. But, many people don’t know how the healthful way of eating is. Moreover, we often don’t care to practice a healthful way of eating. Many of us just take the simple way of eating without considering the essential or the healthy meaning of that activity. Whereas, if we consider and practice a healthful way of eating everyday, it has great effects to our health.

This is a classic way of healthy eating that we should practice everyday to get its great effects: “Eat Before Hungry and Stop Before Stuffed.”

Eat before hungry and stop before stuffed can help our immune system serve basic functions better. While it’s true that we all make blunders sometimes, it seems that some of us don’t have a courage / ability to practice that; because we must be trapped in our daily activities / busyness. We never consider that practicing a healthful way of eating (EBHaSBS) can make our immune system recognize foreign cells and attack them quickly. Moreover, immune system can send white blood cells to the location of an injury to speed healing.

In addition, there is a great disparity between practicing this healthful way (EBHaSBS) and simplifying way of eating. Eat before hungry and stop before stuffed enables our body to always have more stock energy every time we need. It means that; if we always have more stock energy, the biggest possibility is: our activities will be finished effectively and efficiently. Then, by doing every activity efficiently and effectively, we will have higher motivation and passion on any situation or any problems.

Practicing a simplified way of eating couldn’t make us sure it is working or not on healthful, efficiently, and effectively.

The last obvious great effect from this healthful way (EBHaSBS) is very interesting. Eat before hungry and stop before stuffed can make our antibodies grow increasingly. Why is it very interesting? Because, antibodies which increase more rapidly can help our body avoid any diseases clearly as suitable as its capacity (depend on the level of the diseases).And then, probably a high quality and quantity of antibodies can help us solve all of our activities nicely.

Immune system, more stock energy, and good antibodies ; just a small part of the great effects of this healthful way of eating (Eat before hungry and stop before stuffed).In the final analysis, the essence of its great contributions are very wonderful. Because of its great effects, practicing a healthful way of eating (Eat before hungry and stop before stuffed) is vital to everyone’s health.

Minggu, 20 Juli 2008

Moral Sistem Ekonomi Kapitalis Dalam Hukum Bisnis: Studi Kasus Terhadap Kajian Kontradiksi Kemajuan Ekonomi

Moral identik dengan perilaku, perbuatan, dan sepak terjang manusia selama hidup. Moral personal akan mempengaruhi moral sosial, moral sosial akan mempengaruhi moral bangsa, dan moral bangsa akan mempengaruhi moral dunia. Moral akan membentuk tradisi dan kebudayaan. Kebudayaan akan membentuk warna ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik. Di tengah globalisasi dengan ciri utamanya kapitalisme, moral-moral luhur dalam masyarakat habis dibabat nilai konsumerisme, materialisme, permisivisme, hedonisme, yang semua itu bermula dari sekularisme. Hampir dalam seluruh sektor kehidupan, terutama perekonomian, pola konsumsi, budaya, pola pikir; telah ditumbuhkembangkan dengan cara-cara kapitalis. Kapitalisme[1] yang tumbuh kembang dengan baik di negara-negara Barat juga telah banyak mempengaruhi negara-negara dunia ketiga/negara berkembang, yang sebenarnya kebanyakan belum siap terhadap sistem kapitalisme, untuk tumbuh dengan cara-cara kapitalisme, khususnya dalam hal perekonomian.

Realitas minor ini disebabkan kemunduran dan keterbelakangan masyarakat di kebanyakan negara berkembang dan miskin, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ekspansional dan spektakuler kapitalisme. Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena yang sesungguhnya krusial ini. Masyarakat kehilangan legitimasi dan kharisma moralnya di tengah kompetisi ekonomi dan teknologi, sehingga masyarakat lebih terbius kemajuan-kemajuan yang diciptakan kapitalisme yang menjanjikan kenikmatan, kepuasan, liberalitas, progresivitas, dan hedonitas daripada fatwa moral yang sifatnya imbauan saja, tanpa sanksi.

Mayoritas masyarakat silau akan kemajuan peradaban hasil kapitalisme lalu mengambilnya secara utuh, tanpa koreksi dan seleksi terlebih dahulu. Pengaruh keilmuan dan teknologi memang luar biasa. Masyarakat semakin mengacuhkan sebagian bahkan hampir keseluruhan kaedah moral sosial maupun agama mereka dan berubah menjadi individu yang lepas satu sama lain, terasing, dan frustasi. Teknologi telah mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan secara perlahan-lahan namun pasti. Moral terdiri dari seperangkat peraturan yang memonitor perilaku manusia serta menetapkan sesuatu perbuatan mana yang buruk atau yang baik atau bermoral. Segi moral dapat diambil sebagai tolok ukur dalam menilai suatu perilaku, atau setiap tindakan dapat ditinjau segi moralnya.[2] Demikian halnya dengan sistem ekonomi kapitalis, dapat ditinjau segi moralitasnya melalui ketentuan-ketentuan mendasar dalam hukum bisnis.

Masyarakat dunia dewasa ini kebayakan dihadapkan pada suatu paradigma akan sebuah dunia di mana kejayaaan akan kemajuan-kemajuan sedang diciptakan pada kadar yang tidak dapat dibayangkan oleh generasi-generasi dahulu. Kejayaan-kejayaan teknologi, seperti internet, yang telah banyak membantu efisiensi penyampaian informasi hingga lintas benua, kejayaan perbaharuan teknologi produksi dari masa ke masa yang selalu mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektifitas produksi barang dan jasa, kejayaan bidang kesehatan dalam penemuan dan penciptaan medical tools (obat-obatan, alat-alat kesehatan), sedang berkembang dengan pesat.

Semua itu, hampir dapat dipastikan merujuk sebagai hasil daripada kejayaan sistem kapitalis, sehingga terdapat suatu paradigma bahwa sistem inilah yang telah membawa umat manusia mencapai tahap kemajuan yang tinggi dan seakan-akan menjadikan sistem kapitalis sebagai sebuah sistem sempurna yang tidak lagi dapat diubahkan. Masyarakat semakin terbawa arus, kehilangan identitas dan jati diri, terhipnotis hasil-hasil kejayaan. Seks bebas, pergaulan bebas, narkoba, miras, lesbianisme, homoseksual, dan lainnya, menjadi pemandangan yang dapat kita jumpai setiap saat.
Desakralisasi moral menjadi realitas sosial yang sulit untuk dibendung. Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena krusial ini. Efek dan implikasi proyek globalisasi informasi, kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi pada moral umat manusia sudah sangat dahsyat, bahkan tidak mampu diantisipasi oleh kelompok kultural yang selama ini berjuang di level civil society, yang mana tercipta ketidakberdayaan menghadapi superioritas, dominasi, hegemoni, dan determinasi kapitalis yang hedonis-permisif lewat liberalisasi ekonomi dan informasi.[3]


Tak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah memberikan begitu banyak hasil positif bagi peradaban umat manusia. Kemudahan fasilitas hidup, perkembangan teknologi, variasi produk, infrastruktur, menjadi bukti bahwa kapitalisme menunjukkan perannya yang signifikan dalam sejarah peradaban umat manusia. Namun terlepas dari hal itu semua, tak juga salah ketika ternyata dalam analisa, dibalik kesuksesan kapitalisme memberikan kemajuan ekonomi bagi manusia, ada kerancuan atau bahkan kontradiktif yang pada hakikatnya menghancurkan kesuksesan tadi.

Sepanjang abad 20, masa pembangunan ekonomi kapitalisme, selain megahnya pembangunan fisik ekonomi, ternyata terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan bahwa sistem kapitalisme memberikan goncangan-goncangan ekonomi dan implikasi-implikasi negatif. Jeratan hutang di hampir seluruh negara berkembang, kemiskinan yang semakin meluas di negara dunia ketiga, dan krisis-krisis ekonomi khususnya sektor keuangan tak putus-putusnya menyerang perekonomian dunia. Bahkan krisis-krisis ekonomi tersebut, setelah runtuhnya kesepakatan Breeton Woods (1971) atau runtuhnya Smithsonian Agreement (1973), semakin tinggi frekuensi kekerapannya. Dalam interaksi ekonomi internasional terlihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dalam percaturan ekonomi dunia, bahkan wujud kecenderungan eksploitasi ekonomi dari sekelompok negara terhadap sekelompok negara yang lain.[4] Sehingga kekacauan ekonomi yang cenderung diciptakan oleh ekonomi kapitalis, wujud bukan hanya dalam perekonomian lokal tapi juga menggurita dalam perekonomian dunia secara menyeluruh. Ketimpangan ekonomi diantara negara-negara dunia bahkan kemudian bukan sekedar menjelma menjadi eksploitasi ekonomi tapi meluas pada wilayah hukum, sosial budaya dan bahkan politik.

Kapitalisme merujuk pada sebuah sistem ekonomi yang filsafat sosial dan politiknya didasarkan kepada azas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya serta perluasan faham kebebasan.[5] Kapitalisme berkaitan erat dengan sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal) yang berupa kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya.[6]

Kapitalisme tidak hanya sebagai sistem sosial yang menyeluruh atau sekedar sistem perekonomian, melainkan memiliki kontribusi sebagai bagian dari gerakan individualisme.[7] Kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi[8] semakin menegaskan bahwa kapitalisme merujuk pada suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat (a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned).[9]

Heilbroner[10] secara dinamis menyampaikan bahwa kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas[11] dengan menyampaikan bahwa kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme). Di dalam sistem kapitalis, para pemproduksi tidak sekedar menghasilkan bagi keperluannya sendiri maupun untuk kebutuhan individu-individu yang mempunyai kontak pribadi dengan mereka; kapitalisme melibatkan pasar pertukaran (exchange market) yang mencakup nasional atau bahkan sering juga mencakup dunia internasional.[12]

Max Weber memberikan pemahaman bahwa usaha kapitalis sebagai suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan pada suatu pasar dan dipacu untuk menghasilkan laba dengan adanya pertukaran di pasar.[13] Kapitalisme berakar pada uang dan ini adalah cara khusus untuk mengelola produksi. Terdapat beberapa negara yang menggunakan metode yang sama, antara lain: Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman. Negara-negara ini menggunakan Ideologi Kapitalisme, tetapi Amerika Serikat yang paling dominan diantaranya.

Sistem kapitalisme dunia sebagai suatu keseluruhan merujuk pada proses akumulasi modal di negara-negara maju. Kapitalisme bermula dari akumulasi modal primer yang bermodalkan penciptaan angkatan buruh upahan melalui penguasaan terhadap kaum tani dan penumpukan modal yang mudah dicairkan.[14] Setelah itu, mulailah proses akumulasi modal yang diperoleh dari hasil lebih buruh upahan yang telah dikuasai oleh kaum kapitalis dan kemudian diakumulasikan menjadi modal tambahan.

Bentuk produksi kapitalis yang paling awal, manufaktur dimana terdapat sejumlah pekerja dengan spesialisasi dan pembagian kerja. Di bawah pengaruh Revolusi Industri pada tahun 1750-1850 di Inggris, manufaktur memberikan jalan bagi industri untuk beralih dari tenaga buruh ke tenaga mesin. Perkembangan teknologi di bidang industri, transportasi, dan komunikasi, memungkinkan dan menuntut adanya perluasan secara terus menerus dalam ukuran unit yang ada dalam produksi kapitalis.

Adanya kapitalisme dalam tahap kecil atau kerjasama yang menandai tahap-tahap awal perkembangannya, memberikan jalan bagi terbentuknya korporasi, suatu bentuk organisasi yang memungkinkan suatu konsentrasi dan sentralisasi modal yang tak terbatas. Dalam tahap kompetitif, masing-masing perusahaan tumbuh dengan berbagai biaya, mencari keuntungan yang lebih besar, dan menambah kapasitas investasi untuk menghasilkan produk dengan harga di bawah harga pasar yang berlaku. Akan tetapi ketika sejumlah perusahaan berhasil maju dan yang lainnya tertinggal, maka fungsinya berubah sedikit demi sedikit.

Dalam tahap kompetitif kapitalisme, akumulasi modal selalu cenderung melampaui ekspansi pasar. Akibatnya, krisis periodik dan depresi yang berdampak banyak modal dilikuidasi. Masalah ketidakseimbangan antara akumulasi dan ekspansi pasar ini menjadi jelas dalam kapitalisme monopoli.[15] Kelanjutan eksistensi kapitalisme monopoli tergantung pada tingkat produksi dan penyerapan tenaga yang dapat dibenarkan secara politis.

Mekanisme pasar dalam masyarakat-masyarakat yang diklasifikasikan sebagai kapitalis benar-benar dibentuk oleh korporasi-korporasi dan serikat buruh yang cenderung monopolistis dan kedatangan “negara pajak” secara besar-besaran telah membuat alokasi politik menjadi faktor yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat kapitalis ini.[16] Secara umum, tidak ada masyarakat yang diklasifikasikan kaum kapitalis termasuk semua negara di Amerika Utara dan Eropa Barat.

Di beberapa negara sosialis, terdapat usaha besar-besaran untuk memperkenalkan mekanisme pasar ke dalam ekonomi terpimpin yang resmi. Tetapi di negara-negara yang tidak membuat konsesi-konsesi semacam itu sekalipun, mekanisme pasar terbukti memiliki jalan untuk merayap masuk. Kapitalisme mulai merambat masuk ke dalam perekonomian sosialis. Begitu pula sebaliknya, dengan adanya tekanan-tekanan politik terhadap pasar, masyarakat kapitalis yang juga masyarakat demokrasi memerlukan kebijakan politik.

Kapitalisme dapat juga dinyatakan sebagai suatu sistem ekonomi tertentu yang secara empiris menampakkan diri bersama-sama dengan fenomena sosial lain.[17] Dalam bentuknya yang modern, kapitalisme terkait dengan teknologi dan terkait juga dengan perubahan-perubahan yang sangat luas dalam kondisi kehidupan material manusia yang disebabkan oleh teknologi. Kapitalisme juga terkait dengan sistem stratifikasi baru yang didasarkan atas kelas, suatu sistem politik baru yang terdiri dari negara-negara baru dan lembaga-lembaga demokrasi serta suatu budaya baru. Semua unsur ini saling berhubungan dalam moral ekonomi kapitalisme.

Kapitalisme dengan karakternya yang mencari laba akan terus mencari lingkungan yang produktif, lebih kompetitif, dan area yang lebih luas untuk terus beroperasi. Itu sebabnya, kapitalisme dipandang sebagai penyebab segala masalah yang muncul saat ini. Kapitalisme telah menggiring aktivitas kerja menjadi kegiatan dehumanisasi[18].

Dalam hal perburuhan pun, buruh telah menjadi komoditas yang dipaksa bersaing dengan komoditas lainnya. Sebagai contoh, Kenya, negara di Afrika yang sudah terjebak selama beberapa tahun dalam lingkaran kapitalisme ini. Kenya telah memperkerjakan anak-anak sebagai buruh dalam beberapa sektor kegiatan ekonomi untuk membayar utang kepada Bank Dunia dan IMF. Akibatnya, anak-anak tersebut kehilangan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Kapitalisme global telah menyebabkan kemunduran bagi negara ini.

Unsur yang paling penting dalam kapitalisme sebagai suatu sistem pokok dan primer dari orientasi perilakunya menimbulkan dorongan kebutuhan untuk menarik kekayaan dari kegiatan-kegiatan produktif masyarakat dalam bentuk kapital. Gagasan umum mengenai adanya suatu batas minimum kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan masyarakat dijadikan suatu konsep dasar dari perekonomian politik klasik yang tidak bisa dibantah.[19]

Pada sistem kapitalisme, alat-alat produksi atau sumber-sumber yang terbatas dimliki oleh individu dan lembaga swasta. Terdapat pembatasan atas penggunaan hak milik privat tersebut. Kapitalisme, sebuah perekonomian individualistis, yang menjadi pendorong bagi usaha ini untuk memenuhi kepentingan diri sendiri. Peran pemerintah dalam sistem kapitalisme terbatas karena kepemilikan modal sebagian besar dimiliki oleh pihak swasta.

Kapitalisme, muncul dalam keadaan yang sangat terkait dengan kelimpahruahan material peradaban industri maju, sistem kelas yang amat dinamis, demokrasi politik dan serbuan pola-pola budaya, misalnya individualisme.[20] Kapitalisme bukan hanya suatu unsur pengalaman, tetapi juga merupakan suatu konsep yang secara khas berisi penilaian-penilaian, baik negatif maupun positif.

Ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi: disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia, namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.

Ilmu ekonomi merujuk pada ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi dipahami sebagai studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud merujuk pada segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis.

Dasar filosofis pemikiran ekonomi kapitalis[21] sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup. Smith berpendapat bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi berasal dari dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar.

Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Kapitalisme merujuk pada sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.[22]

Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Para individu memperoleh perangsang agar aktiva mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin. Hal tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Ini memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain.

Dengan demikian kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat.[23]

Ada yang mengungkapkan kontraksi-kontraksi ekonomi sebagai sebuah kewajaran, baik berupa krisis ekonomi, resesi atau bahkan depresi. Kontraksi ekonomi tersebut dipercayai mampu memperkokoh sistem ekonomi pada masa selanjutnya, dimana sebuah krisis secara logis menunjukkan kelemahan yang ada dalam struktur ekonomi yang ada sehingga diperlukan sebuah kebijakan yang kemudian secara tak langsung memperkokoh bangunan ekonomi. Namun ternyata krisis kini semakin sering terjadi.

Kontradiksi kemajuan ekonomi pada dasarnya bersumber dari paradigma dasar pengembangannya. Disini akan dijelaskan sedikit apa yang menjadi hakikat mendasar, motivasi, dan paradigma ekonomi konvensional. Ekonomi merujuk pada segala tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas. Dari pemahaman ini ada dua makna yang didapat.

Pertama, ini menyiratkan tingkah laku manusia terfokus sebagi tingkah laku yang bersifat individual. Kedua, bahwa tingkah laku manusia itu bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas.

Pemahaman ini berkembang dari pemahaman motif-motif ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi konvensional. F.Y. Edgworth (1881) menjadi tokoh utama yang mengemukakan motif self interest (egoism) dari prilaku ekonomi manusia . Namun hal ini juga sebenarnya sudah dijelaskan secara garis besar oleh Herbert Spencer (1879) dan Henry Sidgwick (1874) .

Sebenarnya hal ini merupakan kelanjutan dari pemikiran Jeremy Bentham (1748-1823) tentang utilitarianism. Jeremy Bentham (1748-1823) rasionalitas berpegang pada prinsip maximizing pleasure minimizing pain. Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham merujuk pada kesenangan yang paling besar yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik. Banyak ahli ekonomi yang terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.[24]

Ekonomi konvensional (kapitalisme) berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia.[25] Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan visi, melakukan satu titik balik peradaban, dengan membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dari pemahaman mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth memiliki alasan kuat bahwa hanya egoisme lah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi perilaku manusia (egoistic behaviour).

Alasan ini juga yang menjawab hipotesa-hipotesa yang dikemukakan Herbert Spencer dalam menganalisa hubungan antara egoisme (individualistic) dan altruisme (collectivity). Perilaku ekonomi yang diwarnai oleh moral sebenarnya pernah menjadi diskusi hangat dalam ekonomi konvensional, namun karena kesulitan menentukan alat ukur, maka wacana beralih dari moralitas ke sesuatu yang lebih materi / kuantitatif: egoisme.

Dipahami bahwa ekonomi memisahkan aktivitas moral dalam pembahasan dan pengembangan ekonomi. Pada akhirnya ekonomi hanya mengenal instrumental yang bersifat terukur dan konsisten dalam pengembangannya, oleh sebab itu nilai dasarnya cenderung menggunakan egoisme dan utilitarianisme yang fokus pada pengejaran kepentingan pribadi[26].

Landasan nilai egoisme ini kemudian menjadi motif ekonomi menggunakan pendekatan rasional (rational choice). Pendekatan rasional ini sebenarnya menunjukkan konsistensi internal dari moral seorang individu dalam berperilaku, dengan landasan inilah kemudian secara substansi ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan.

Kapitalisme beserta karakter moraliitas yang dikandungnya lebih dari sekedar sistem ekonomi atau sistem sosial. Dalam kaitannya dengan peradaban, kapitalisme dapat dikatakan sebagai suatu cara keberadaan manusia, suatu modus eksistensi. Pelaksanaan kapitalisme memang masih dapat bertahan hingga sekarang karena berbagai kekuatannya, tetapi pelaksanaan sistem ini secara terus menerus dapat mengakibatkan kejatuhan. Hal ini bukan tidak mungkin, karena jika setiap orang hanya mementingkan dirinya sendiri saja, pemilik modal atau kaum kapitalis hanya bertujuan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kaum buruh di bawahnya, kapitalisme akan membawa dunia kepada lembah kejatuhan yang paling dalam.

Dalam skala kecil, besarnya kesenjangan antara pemilik kapital dan para pekerja yang terdapat dalam sistem kapitalisme dapat diminimalisasikan dengan adanya sebuah sistem kerja yang lebih baik untuk para buruh atau pekerja. Salah satu caranya, setiap pembentukan suatu produk hukum dan perundang-undangan harus lebih berpihak pada kaum buruh sehingga dapat menyejahterakan mereka. Selain itu, kesejahteraan kaum buruh dapat lebih ditingkatkan dengan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis demokratis yang dijalankan secara terpadu dan berkesinambungan. Kapitalisme demokratis menjadikan kaum buruh ikut serta secara aktif dalam mengelola produksi. Prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya dapat membantu para buruh untuk tidak terlalu bergantung pada kaum kapitalis atau pemilik modal.




[1] Sistem perekonomian yang mengakui adanya kebebasan secara penuh kepada tiap-tiap individu untuk melaksanakan kegiatan perekonomian, baik memproduksi, menjual, menyalurkan, barang dan jasa dalam perekonomian. Sistem ini sangat mengandalkan peranan sentral modal dalam proses produksi. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Kapitalisme muncul sebagai rangkaian kegiatan-kegiatan niaga dan perdagangan. Fernand Braudel, Civilizaton and Capitalism, Haper & Row, New York, 1982, 1984.

[2] O. P. Simorangkir, Etika: Bisnis, Jabatan, dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.

[3] Telah dimuat dalam Harian Suara Merdeka, 22/09/06, IC). www.gp-ansor.org/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 15.35 WIB.

[4] http://abiaqsa.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 15.40 WIB.

[5] Ainu Amri Tanjung, Al-Islam, Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia,www.alislamu.com, diakses pada 8 Februari 2008.

[6] Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.

[7] Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.

[8] Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.

[9] Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.

[10] Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan), LP3ES, Jakarta, 1991.

[11] Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press, Cambridge Oxford, 1988.

[12] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Moderrn (terjemahan), Penerbit Universitas Indonesia Press.

[13] Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis , Jakarta: LP3ES, 1990, hal.21.

[14] Modal cair diperoleh dari rampasan dan keuntungan yang diperas dari negara-negara yang tergantung.

[15] Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis , Jakarta: LP3ES, 1990, hal.24.

[16] Ibid, hal.25.

[17] Anthony Giddens, Marx, Webber, and the development of capitalism, vol. 4, 1970, hal. 196.

[18] Dehumanisasi berarti menjadikan manusia sebagai komoditas.

[19] Robert L.Heilbroner, Hakikat dan Logika Kapitalisme , Jakarta: LP3ES, 1991, hal.19.

[20] M. Dawam Rahardjo, Kapitalisme: Dulu dan Sekarang, Jakarta: Pribumi, 1987, hal.16.

[21] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, 1776- www.islamic-economic.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 14.20 WIB.

[22] Milton H. Spencer , Contemporary Economics, 1977- www.islamic-economic.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 14.25 WIB.

[23] www.islamic-economic.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 14.40 WIB.

[24] Paul Omerod, The Death of Economics ,1994-Dikaji oleh Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana PSTTI UI, dalam Kematian Ilmu Ekonomi Kapitalisme dan Peluang Ekonomi Syariah, www.jurnal-ekonomi.org/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 17.15 WIB.

[25] Fritjop Chapra , The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture, 1999, dan Ervin Laszio, 3rd Millenium, The Challenge and The Vision ,1999- Dikaji oleh Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana PSTTI UI, dalam Kematian Ilmu Ekonomi Kapitalisme dan Peluang Ekonomi Syariah, www.jurnal-ekonomi.org/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 17.15 WIB.

[26] Alfred Marshall, Principles of Economics, 1890- http://abiaqsa.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 17.05 WIB.

CSR sebagai Lingkungan Legal Bisnis

Lingkungan bisnis dewasa ini mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dinamis. Saat ini banyak perusahaan-perusahaan baru yang bermunculan di dunia bisnis. Tetapi tidak semua dari perusahaan baru tersebut organisasi bisnis yang legal, banyak diantaranya yang didirikan tidak sesuai aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Banyak pengusaha-pengusaha yang nekad mendirikan usahanya tanpa memikirkan apakah usaha tersebut sudah cukup legal dan sah dimata hukum. Paradigma inilah yang mendasari pentingnya keberadaan regulasi mengenai lingkungan legal bisnis. Selain banyaknya perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis dengan melanggar hukum-hukum yang ada, ternyata banyak perusahaan yang kurang merespon positif rancangan aturan mengenai corporate social responsibility (CSR)[1] atau tanggung jawab sosial perusahaan.

Perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya haruslah memperhatikan keadaan lingkungan sekitar, jangan sampai kegiatan perusahaan menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan alam yang akan berakibat fatal nantinya. Musibah banjir yang terjadi akhir-akhir ini, salah satunya disebabkan karena banyaknya perusahaan-perusahaan yang dalam menjalankan kegiatannya tidak memandang lingkungan sebagai faktor yang penting. Banyak diantaranya yang mendirikan bangunan perusahaanya di daerah resapan air, membuang limbah atau sisa-sisa bahan produksi kimia bukan pada tempatnya hingga air menjadi tercemar dan masyarakat luas yang akan merasakan dampak tersebut. Padahal sekarang ini isu corporate social responsibility termasuk salah satu isu penting yang harus diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan untuk menjadi perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) jika mereka melaksanakan corporate social responsibility-nya. Tapi bagaimanpun juga tidak semua perusahaan mengacuhkan CSR, banyak diantaranya yang sangat memperhatikan kesejahteraan dan keamanan lingkungan sekitar. Selain itu, ketidakpemenuhan pendirian suatu perusahaan berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan dapat menjadi cermin rendahnya kualitas produksi perusahaan, rendahnya kesadaran kepatuhan akan aturan-aturan, kurang produktifnya regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah, bahkan pada tingkat yang lebih tinggi mencerminkan kurangnya pemahaman dan kesadaran akan lingkungan legal perusahaan.

Ada banyak hal yang harus diperhatikan untuk melakukan kegiatan bisnis agar tujuan utama berupa profit atau laba atau keuntungan yang maksimal yang ingin diraih, dapat terpenuhi sesuai target yang ditentukan. Seorang pengusaha sebaiknya memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut berasal dari dua sumber, dari lingkungan internal, berasal dari dalam perusahaan itu sendiri maupun lingkungan eksternal, dan berasal dari luar perusahaan. Kedua lingkungan tersebut perlu disinergikan agar dapat meraih hasil yang optimal dalam menjalankan kegiatan bisnis. Kelegalan sebuah perusahaan atau badan bisnis sangat penting, menyangkut kelangsungan hidup perusahaan tidak hanya untuk jangka pendek tapi juga untuk jangka panjang. Jika perusahaan yang didirikan secara legal, sesuai peraturan-peraturan yang berlaku maka untuk kedepannya kegiatan bisnis akan berjalan lancar dan tidak akan terbentur masalah-masalah hukum yang pada akhirnya dapat berakibat bruuk pada perusahaan itu sendiri. Untuk itu harus diketahui lebih lanjut apa-apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan agar melaksanakan kegiatan bisnisnya pada lingkungan yang legal.

Saat ini lingkungan bisnis berubah semakin dinamis. Perubahan-perubahan lingkungan bisnis tersebut terjadi begitu cepat. Keberadaan internet dan penggunaan teknologi informasi dalam bisnis telah memangkas waktu dalam memperoleh informasi. Aktivitas-aktivitas bisnis seperti merger, akuisi maupun ekspansi bisnis perusahaan yang biasanya dilakukan dalam waktu lama sekarang dilakukan dengan waktu yang lebih singkat. Demikian pula informasi mengenai kegiatan kompetitor bisnis juga lebih dapat diketahui secara dini. Aplikasi-aplikasi seperti Bussiness Intellegence, Dashboard information system dan aplikasi model Decision Support System telah menjadi kebutuhan dalam membantu proses pengambilan keputusan[2].

Bisnis yang dijalankan kebanyakan perusahaan melibatkan hubungan ekonomi dengan banyak kelompok orang yang dikenal sebagai stakeholders: pelanggan, tenaga kerja, stockholders, suppliers, pesaing, pemerintah dan komunitas. Stakeholders inilah yang pada dasarnya menjadi cakupan lingkungan perusahaan secara sederhana. Para pebisnis seharusnya turut mempertimbangkan semua bagian dari stakeholders dan bukan hanya shareholders saja. Pelanggan, penyalur, pesaing, tenaga kerja dan bahkan pemegang saham menjadi pihak yang sering berperan untuk keberhasilan dalam berbisnis. Lingkungan bisnis yang mempengaruhi etika terletak pada lingkungan makro dan lingkungan mikro. Lingkungan makro yang dapat mempengaruhi kebiasaan yang tidak etis yaitu bribery, coercion, deception, theft, unfair dan discrimination, maka dari itu dalam perspektif mikro, bisnis harus percaya bahwa dalam berhubungan dengan supplier atau vendor, pelanggan dan tenaga kerja atau karyawan. Etika bisnis[3] tidak dapat terlepas dari etika personal, keberadaannya menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi. Etika bisnis[4] sesorang menjadi perpanjangan moda-moda tingkah lakunya atau tindakan-tindakan konstan, yang membentuk keseluruhan citra diri atau akhlak orang itu. Etika bisnis menjadi salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam dunia bisnis.

Berubahnya harapan publik mengakibatkan perubahan amanat didalam bisnis khususnya dalam hal keuntungan dalam berbisnis untuk memberikan manfaat bagi lingkungan, dan bukan sebaliknya. Reaksi yang terjadi di dalam bisnis dalam hal perubahan keuntungan menciptakan keadaan saling tergantung antara bisnis dan lingkungan, sehingga butuh untuk lebih diperhatikan. Lingkungan harus diperhatikan karena awalnya perhatian terhadap polusi udara pada cerobong asap dan pipa pembuangan yang menyebabkan iritasi pernafasan dan penyakit. Bagaimanapun juga masalah ini relatif terisolir jadi ketika polusi datang cukup menimbulkan iritasi dan umumnya akan menjadi daftar peraturan yang dapat dikendalikan meskipun pelaksanaan yang efektif tidak berarti dapat dipercaya.

Kajian etika bisnis dalam lingkungan legal perusahaan dapat dianalogikan dalam perihal etika untuk akuntan profesional; apakah terlibat di dalam melakukan audit atau kepastian fungsi di manajemen, konsultan, atau sebagai direktur. Seorang akuntan yang profesional dapat melihat masa lampau seperti kesewenangan dalam akuntabiliatas organisasi dan fokus pada pengambilan keputusan. Sejak para akuntan menyaksikan perubahan akuntabilitas perusahaan yang makin meluas hanya pada shareholders ke stakeholders, ini mewajibkan para akuntan untuk mempelajari dan mengerti perubahan ini dan bagaimana ini akan berdampak pada fungsinya. Jika tidak melakukan tindakan, maka yang berikut dilakukan berupa nasehat atas tindakan, dan tidak lama lagi diberikan konsekuensi atas etika yang dilanggar.

Etika bisnis dalam konteks lingkungan legal bisnis/perusahaan dapat dipahami melalui analisa terhadap lingkungan bisnis dewasa ini yang mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dinamis, dimana banyak perusahaan baru yang bermunculan di dunia bisnis. Tetapi tidak semua dari perusahaan baru tersebut organisasi bisnis yang legal, banyak diantaranya yang didirikan tidak sesuai aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Banyak pengusaha-pengusaha yang nekad mendirikan usahanya tanpa memikirkan apakah usaha tersebut sudah cukup legal dan sah dimata hukum. Paradigma inilah yang mendasari pentingnya keberadaan regulasi mengenai lingkungan legal bisnis yang dapat dijadikan literatur nantinya dalam pengambilan kebijakaan, baik untuk perusahaan-perusahaan maupun pemerintah dalam pemberian konsekuensi atas etik yang dilanggar.

Lingkungan eksternal perusahaan (lingkungan bisnis), menurut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang saling berkaitan, yaitu lingkungan operasional, lingkungan industri dan lingkungan jauh.[5]

Lingkungan Operasional

Perusahaan hendaknya melakukan perubahan untuk dapat menyesuaikan dengan lingkungannya yang kompetitif. Perubahan berkaitan dengan perihal membuat sesuatu dengan lain. Lingkungan operasional perusahaan meliputi pesaing, pemberi kredit, pelanggan, pemasok dan pegawai. Untuk mengidentifikasi pesaing, perusahaan dapat menggunakan matriks profil persaingan (Competitive Profile Matrix / CPM).[6] Dalam matriks tersebut menggunakan faktor sukses kritis yang terdiri dari periklanan, kualitas produk, daya saing harga, manajemen, posisi keuangan, loyalitas pelanggan, ekspansi global dan pangsa pasar.

Analisis yang paling penting dalam lingkungan operasional terletak pada pemahaman akan pelanggan perusahaan. Pelanggan dapat dikelompokkan menjadi konsumen dan industri. Profil pelanggan konsumen dapat disusun menurut informasi geografis, demografis, psikografis, perilaku dan manfaat. Sedangkan informasi industri mencakup variabel operasional, pendekatan pembelian, faktor situasional dan karakteristik pribadi. Profil pelanggan internet dapat dikelompokkan berdasarkan komunitas minat, komunitas relasi, komunitas transaksi, komunitas fantasi dan komunitas profesional.

Perusahaan harus menjaga hubungan baik dengan pemasoknya untuk menjaga keberlangsungan dan pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang. Pemasok dapat memberi dukungan berupa bahan baku, peralatan, layanan, bahkan dukungan keuangan. Selain pemasok, pemberi kredit merupakan partner perusahaan yang penting, karena dapat memberikan evaluasi terhadap lingkungan operasional perusahaan. Disamping pemberi kredit juga dapat mendukung perusahaan dalam bidang keuangan atau sumberdaya lain guna mengimplentasikan dan mempertahankan strategi bersaing perusahaan. Pegawai atau karyawan atau sumberdaya manusia aset perusahaan yang paling penting. Kendala terbesar yang dihadapi perusahaan dalam menghadapi globalisasi terletak pada keterbatasan sumberdaya manusia, bukan terbatasnya modal.[7]

Lingkungan Industri

Dalam industri manapun, industri domestik atau internasional, menghasilkan barang atau jasa, aturan persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan yang terdiri dari: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar-menawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan di antara para pesaing yang ada[8].

Perintang masuk meliputi skala ekonomi, diferensiasi produk, identitas merek, biaya beralih pemasok, kebutuhan modal, akses ke jaringan distribusi, keunggulan biaya mutlak, kebijakan pemerintah dan perlawanan dari perusahaan yang ada. Kekuatan pemasok ditentukan oleh deferensiasi masukan, biaya beralih pemasok dari pemasok dan perusahaan dalam industri, adanya masukan substitusi, konsentrasi pemasok, pentingnya volume penjualan bagi pemasok, biaya relatif terhadap pembelian total dalam industri, dampak masukan terhadap biaya atau dferensiasi dan ancaman integrasi ke depan relatif terhadap ancaman integrasi ke belakang oleh perusahaan dalam industri. Faktor penentu ancaman produk substitusi terdiri dari harga dan kinerja produk substitusi, biaya beralih pemasok dan kecenderungan pembeli terhadap produk substitusi. Faktor penentu kekuatan pembeli mencakup konsentrasi pembeli dibandingkan dengan konsentrasi perusahaan, volume pembelian, biaya beralih pemasok dari pembeli relatif terhadap biaya beralih pemasok dari perusahaan, informasi pembeli, kemampuan melakukan integrasi balik, produk substitusi, harga pembelian, diferensiasi produk, identitas merek, dampak atas kualitas, laba pembeli dan insentif pengambil keputusan. Sedangkan faktor penentu persaingan di antara perusahaan yang ada adalah pertumbuhan industri, biaya tetap, kelebihan kapasitas, diferensiasi produk, identitas merek, biaya beralih pemasok, konsentrasi dan keseimbangan, ragam pesaing, taruhan korporasi dan hambatan keluar.

Lingkungan Jauh

Lingkungan jauh mencakup faktor-faktor yang bersumber dari luar operasional perusahaan. Analisis lingkungan jauh digunanakan perusahaan untuk mampu menjawab baik dengan menyerang maupun bertahan terhadap faktor-faktor lingkungan jauh tersebut dengan merumuskan strategi yang memanfaatkan peluang atau meminimalkan ancaman. Perubahan dalam lingkungan jauh dapat mempengaruhi perubahan dalam permintaan konsumen untuk produk industri serta jasa konsumen. Mengenali dan mengevaluasi peluang dan ancaman lingkungan jauh membuat organisasi mampu mengembangkan visi dan misi yang jelas serta mampu merancang strategi untuk mencapai sasaran jangka panjang dan mengembangkan kebijakan untuk mencapai sasaran tahunan. Lingkungan jauh tersebut meliputi lingkungan ekonomi, sosial, politik, teknologi, ekologi dan global.

Banyak orang tertarik untuk melakukan bisnis, tentu saja hal ini dikarenakan mereka bertujuan untuk memperoleh laba atau profit atau keuntungan yang maksimal. Salah satu cara untuk dapat melakukan sebuah bisnis tersebut diantaranya dengan mendirikan sebuah perusahaan, yang tentunya didalamnya terdapat berbagai peraturan-peraturan yang mengatur kegiatan keseluruhan dari perusahaan tersebut. Jika akan mendirikan perusahaan maka perusahaan yang didirikan sesuai oleh aturan-aturan yang berlaku, berbadan hukum sehingga sah dimata hukum dan legal untuk dilaksanakan kegiatannya.

Untuk mendirikan perusahaan yang legal dan sah di mata hukum, ada beberapa syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Ada beberapa definisi dari perusahaan, beberapa definisi tersebut dikemukakan oleh pemerintah Belanda[9], yang pada waktu itu membacakan “memorie van toelitching” dimuka parlemen, Prof. Molengraaff[10], yang dipandang dari sudut “ekonomi,” dan Polak[11], yang dipandang dari sudut “komersil."

Dalam mendefinisikan perusahaan sudut pandang dari Polak sama dengan sudut pandang dari Molengraaff, hanya saja menurut Molengraaff perusahaan memiliki enam unsur sedangkan menurut Polak perusahaan hanya memiliki dua unsur.

Sukses atau tidak suksesnya perusahaan dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan[1], yang terdiri dari lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Menurut Lubis dan Huseini lingkungan dipahami sebagai sesuatu yang tidak berhingga (infinit) dan mencakup seluruh elemen diluar suatu organisasi[2], seluruh elemen yang berada diluar batas organisasi yang berpotensi untuk mempengaruhi sebagian ataupun organisasi secara keseluruhan. Sedangkan menurut pandangan modern lingkungan diartikan sebagai sesuatu yang berada diluar batas organisasi yang mempengaruhi hasil dari organisasi melalui berbagai hambatan dan tuntutan adaptasi agar organisasi tetap bertahan (survive).

Jika sebuah perusahaan yang berdiri sudah dapat mensinergikan antara lingkungan internal dan lingkungan eksternalnya maka mereka dapat dengan mudah mencapai tujuan yang sudah ditentukan dari awal perusahaan berdiri, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang perusahaan. Akan tetapi ternyata kesinambungan sebuah usaha tidak hanya dari internal dan eksternal perusahaan saja seperti telah dijelaskan diatas, faktor lingkungan juga mempengaruhi dunia usaha. Faktor lingkungan yang mempengaruhi dunia usaha pertama variabel sosial seperti faktor demografis, gaya hidup, nilai-nilai sosial masyarakat Kedua variabel ekonomi, berkaitan dengan indikator ekonomi yang bersifat umum seperti lapangan kerja, investasi, transaksi perdagangan internasional, pendapatan nasional, produk nasioanal, dan lain sebagainya. Ketiga variabel politik, faktor-faktor yang terkait dengan kondisi atau iklim perpolitikan di suatu daerah. Dan yang terakhir, keempat variabel tekhnologi, kemajuan teknologi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu yang terkadang sangat cepat mempengaruhi dunia usaha, perusahaan yang statis dan tidak mengikuti perkembangan teknologi cenderung tertinggal dibandingkan dengan perusahaan yang terus mengikuti kemajuan tekhnologi untuk membuat operasional usahanya menjadi lebih efektif dan efisien.

Struktur hukumnya bentuk-bentuk perusahaan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok[1] yang merupakan berbadan hukum dan yang tidak merupakan berbadan hukum. Beberapa bentuk perusahaan tersebut diantaranya firma, firma komanditer, dan perseroan terbatas. Untuk mendirikan sebuah perusahaan banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang tidak diinginkan dalam menjalankan sebuah kegiatan bisnis. Jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, sebuah perusahaan akan tercatat dalam daftar Negara dan ini memudahkan pemerintah untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan perusahaan sehingga akan mempersempit ruang pengusaha-pengusaha bandel untuk melakukan bisnis kotor atau bisnis yang ilegal.

Selain syarat-syarat yang telah disebutkan diatas ada satu lagi syarat yang harus dipenuhi perusahaan agar dapat dikatakan sebagai good corporate governance (GCG) yaitu corporate social responsibility (CSR). Isu tentang tanggung jawab perusahaan ini sudah mulai berkembang sejak tahun 1950 dikalangan bisnis sedangkan di Indonesia sendiri CSR mulai mulai dikenal lima tahun belakangan ini. Pada umumnya kaum pengusaha mengartikan konsep CSR sebagai bentuk berbagi kepada masyarakat sekitar atau kalangan tertentu atau sebagai bagian dari kedermawanan sosial.

Secara filosofi konsep CSR dapat dikategorikan kedalam tiga paradigma; pristine capitalist, enlightened self-interest dan social contract. Pandangan pertama merupakan perwakilan dari sistem ekonomi liberal dan kapitalis, dengan Milton Friedman sebagai tokohnya. Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab sosial bagi sebuah bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, untuk tumbuh, berkembang dan melaksanakan efisiensi ekonomi dengan penggunaan sumber daya sedemikian rupa selama tetap menaati peraturan, yaitu tidak berlaku curang dalam sebuah sistem kompetisi bebas dan terbuka. Sehingga semua konotasi tanggung jawab sosial diluar definisi diatas sebagai penyalahgunaan dana pemegang saham.[2]

Di sisi lain, social contract berpendapat sebuah perusahaan dapat berusaha dalam perekonomian karena ada kontrak sosial (social contract) dengan masyarakat sehingga bertanggung jawab atau terikat dengan keinginan masyarakat tersebut. Dalam pandangan kelompok ini dengan adanya kontrak sosial tersebut perusahaan akan bertindak sebagai agen moral (moral agent), konsekuensinya perusahaan harus memaksimumkan manfaat atau keuntungan sosial bagi masyarakat.[3]

Sedangkan enlightened self-interest berada di tengah-tengah keduannya, dimana menurut pandangan ini stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya akan dicapai jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggung jawab sosial kepada masyarakat paling tidak dalam tingkat minimal. Dari ketiga pandangan tersebut terlihatlah perbedaan-perbedaan dalam mendefinisikan CSR, tergantung dari sudut pandang yang mana. Tetapi pada intinya dari ketiga pandangan tersebut CSR disebutkan sebagai tanggung jawab sebuah perusahaan terhadap keselamatan, kesejahteraan, keamanan lingkungan sekitar tempat perusahaan berkedudukan.
Penerapan CSR telah merambah ke semua sektor industri dan perusahaan, secara umum isu CSR mencakup lima komponen pokok, pertama hak azasi manusia (HAM), bagaimana perusahaan menyikapi masalah HAM dan strategi serta kebijakan apa yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM di perusahaan yang bersangkutan. Kedua Tenaga kerja (buruh), bagaimana kondisi tenaga kerja di supply chain atau di pabrik milik sendiri mulai dari sistem penggajian, kesejahteraan hari tua dan keselamatan kerja, peningkatan keterampilan dan profesionalisme karyawan, sampai masalah penggunaan tenaga kerja di bawah umur. Ketiga lingkungan hidup, bagaimana strategi dan kebijakan yang berhubungan dengan masalah lingkungan hidup, cara mengatasi dampak lingkunagn atas produk yang dihasilkan. Keempat sosial masyarakat, bagaimana strategi dan kebijakan dalam bidang sosial dan pengembangan masyarakat setempat. Terakhir, kelima dampak produk dan jasa terhadap pelanggan, produk harus dipastikan bebas dari dampak negatif untuk lingkungan.


Dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya, sebuah perusahaan akan bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang sejenis yang bergerak dalam bidang yang sama agar dapat bertahan (survive) dalam kegiatannya, untuk menghasilkan persaingan yang sukses membutuhkan pengertian yang kuat dari perusahaan atas lingkungan internal maupun lingkungan eksternalnya. Lingkungan internal dapat dikatakan sebagai penentu utama strategi perusahaan, dapat berupa sumberdaya dan kemampuan unik dari produk, baik barang maupun jasa, yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga memiliki daya saing dengan perusahaan lain dan lingkungan eksternal sebagai penentu utama dari langkah strategis apa yang akan dilakukan perusahaan dalam memasarkan produknya; yang dalam studi kasus makalah ini berupa data-data pada industri radio.

Kasus Permasalahan Data pada Industri Radio

Terdapat masalah klasik yang selama ini bergelayut di kalangan industri radio: masalah data radio. Soal satu ini hingga kini seakan menjadi “momok” menakutkan. Apalagi kalau data itu menyangkut eksistensi jumlah pendengar radio, tak jarang pemilik radio yang “tersinggung” dengan data tersebut menampik apa yang tercantum di dalamnya. Berbagai alasan dikemukakan. Tidak heran bila data-data yang terkait dengan industri radio darimanapun datangnya disikapi dengan apatis.
Data yang dihasilkan Nielsen Media Research (NMR) misalnya, hingga kini tak sedikit pengelola radio yang alergi dengannya. Apalagi kalau nama radionya tidak tampil atau data yang tertera sedikit kurang menguntungkan, sikap reaktif pun bermunculan[17].

Ironisnya, di tengah sikap alergi seperti itu, tak sedikit pengelola radio yang sempat terkecoh oleh adanya data-data radio yang terkesan asli tapi pada kenyataannya data itu palsu (aspal). Jual beli data “aspal” itu dilakukan orang-orang yang tak bertanggungjawab dengan niat mendongkrak prestis radio yang diincarnya. Data-data itu menyampaikan informasi kuantitatif yang prestisius sebagaimana diminta pengelola radio bersangkutan. Dengan kata lain, informasi data itu bisa menguntungkan radio tersebut di mata pengiklan. Parahnya, oknum penjual data meyakinkan pembeli data bahwa data yang dijualnya berdasarkan survei yang dilakukannya dan diakuinya data tersebut data yang “tersisa” dari survei yang dilakukan Nielsen. Praktek seperti ini sempat tersebar di sebagian kalangan pelaku bisnis radio[18].

Praktek jual beli data aspal yang mengatasnamakan Nielsen ini tentu saja cukup meresahkan. Diakui Ika Jatmikasari, Senior ManagerClient Service ACNielsen Indonesia, kejadian serupa pernah dialami Nielsen sekitar dua tahun lalu. Tapi pada waktu itu kejadian tersebut bisa diklarifikasi dan pelaku jual beli data aspal itu sudah dituntut Nielsen[19].

Menanggapi kabar terbaru yang berkembang di kalangan komunitas bisnis radio komersial tersebut, Ika menegaskan agar pelaku industri radio tidak percaya begitu saja dengan penawaran tersebut. Pasalnya, Nielsen selalu bersikap tegas dan hati-hati terhadap mereka yang memerlukan data media Nielsen. Ika menyarankan agar pebisnis radio sebaiknya melakukan cek legalitas dan client service yang menawarkan data tersebut. “Kalau ada keraguan pemilik media terhadap orang yang mengaku menjual data Nielsen, silakan cek ke sini karena client service kami hanya ada tujuh orang,” Ika kembali menyarankan[20].

Ditegaskannya pula bahwa selama ini untuk memperoleh data Nielsen, pengguna data harus mengikat kontrak kerjasama dengan Nielsen. Salah satu kontrak itu menegaskan bahwa data-data yang menyangkut pemilik media hanya boleh digunakan olehnya dan oleh si kliennya yang mana data itu diperoleh dari si pemilik perangkat lunak tersebut, dalam hal ini Nielsen sendiri. “Data tersebut tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain,” tegas Ika mengingatkan[21].

Terlebih bila data itu hanya berkaitan dengan kebutuhan pemilik media semata (customized data), dalam hal ini pemilik radio, Ika menginformasikan bahwa Nielsen akan membantu pihak radio tersebut mulai dari metodologi yang digunakan, respondennya siapa, area surveinya di mana dan bahkan siapa client service Nielsen yang in-charge di radio bersangkutan. Semua itu dilakukan secara transparan sesuai kemauan pemilik radio.”Klien yang berhak menentukan karena mereka yang bayar,” papar Ika[22].

Menanggapi adanya kasus tersebut menunjukkan lemahnya kontrol Nielsen atas data media yang ada, Ika menyanggahnya. Masalah kontrol, diakuinya agak sulit dilakukan karena praktek jual beli data “aspal” seperti itu di luar jangkauannya[23].

Kasus seperti itu sebenarnya juga mencerminkan bahwa banyak pihak yang begitu berkepentingan dengan bisnis radio saat ini, termasuk dalam hal ini kalangan lembaga riset media. Di mata Ari Maricar, salah seorang konsultan manajemen radio di Jawa Timur, keadaan seperti harus dipahami kalangan pelaku bisnis radio. Pasalnya, menurut Ari, para pelaku industri radio dengan seluruh aktivitas yang dimilikinya hingga kini belum mampu menjawab kebutuhan para pemangku kepentingan tersebut[24].

“Riset menyangkut media radio berada pada lingkup perhatian yang tidak terlampau luas bagi publik,” begitu pengamatan Ari. Kepedulian atas riset media radio hingga sekarang tidak mengalami pergeseran. Paling-paling hanya terkait pada kebutuhan penyelenggara radio dan pengguna jasa iklan radio. “Tapi, ironisnya, di tingkat penyelenggara radio tidak banyak yang peduli terhadap angka-angka hasil penelitian khalayak media radio,” jelas Ari menyesalkan[25].

Apa yang dikemukakan Ari ada benarnya. Hampir sebagian besar pelaku bisnis radio masih minim menggunakan data riset radio yang dikeluarkan lembaga riset media yang ada. Kebanyakan lebih suka melakukan riset yang dilakukan secara internal. Kalaupun ada data dari lembaga riset media independen, itupun sekadar pelengkap semata[26].

“Kami pelanggan Nielsen walaupun saya tidak terlalu mempercayainya,” demikian pengakuan Myra Suroso, General Manager U-FM. Ketidakpercayaan itu menurutnya dikarenakan sampai saat ini belum ada tolak ukur yang sama di lingkungan industri radio untuk memandang riset radio independen[27].

Hal senada diungkapkan Bimo Bayu D. Nimpuno, Service & Marketing Director Radio Republik Indonesia (RRI). “Kita memang nggak punya data yang secara umum bisa diterima secara industri,” demikian tutur Bayu[28].

Untuk mengatasi keadaan seperti itu riset internal menjadi satu pilihan terbaik. Sebagaimana yang dilakukan U-FM sendiri. “Kami punya riset sendiri di berbagai hal, terutama dari data base SMS,” imbuh Myra[29].

Hal serupa juga diaplikasikan Sonora FM Jakarta. ”Kami punya data berapa banyak mereka yang merespon dalam acara tertentu yang kemudian kami kumpulkan,” Andrey Andoko, Marketing Manager Sonora menuturkan. Data-data riset internal seperti itulah yang biasanya ditawarkan pihaknya kepada pengiklan. Tapi sayangnya, diakui Andrey, hasilnya masih belum memuaskan[30].

Berdasarkan kasus yang disajikan, dapat dianalisa bahwasanya dalam kasus tersebut terdapat tiga pihak yang saling berkesinambungan. Pihak pertama tentu saja Neilsen Media Research (NMR), pihak dari industri radio menjadi pihak kedua, dan terakhir pihak pembuat data palsu. Ketiga pihak tersebut dapat dikatakan sebagai para pelaku bisnis. Perbuatan pihak pembuat data palsu, yang membuat dan memperjual belikan data tersebut, baik secara sengaja maupun tidak disengaja, sampai ke tangan pihak industri radio secara tidak langsung sangat merugikan NMR. Dalam hal ini, pihak pembuat data palsu tersebut dapat dikatakan sebagai perusahaan, mengingat sulitnya membuat data palsu hanya melalui perseorangan. Berkaitan dengan perusahaan yang tidak mengikuti formalitas tertentu, dapat diartikan yakni persyaratan perusahaan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi[31].

Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan hukum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktivitas perusahaan, misalnya ketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi hukuman[32].

Melihat tindakan pemalsu data berarti menunjukkan bahwa doktrin piercing the corporate veil telah dipandang dengan sebelah mata. Doktrin piercing the corporate veil merupakan doktrin utama dalam hukum perseroan, guna memberi arah bagaimana seharusnya perusahaan bertindak dan berbuat. Arah ini sekaligus menetapkan batasan-batasan, yang apabila dilanggar batasan-batasan tersebut akan mengakibatkan hilangnya limitatif tanggung jawab terbatas dan berubah menjadi tanggung jawab tidak terbatas[33].

Dilihat dari doktrin corporate opportunity, pihak pembuat data palsu dapat dikatakan ultravires[34]. Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu perbuatan hukum para pengurus perusahaan, apakah perbuataanya sesuai dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau tidak. Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perusahaan tersebut harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik pidana dan atau perdatanya[35].

Pihak pembuat data palsu dan pihak industri radio yang membeli hasil risetnya, menandakan bahwa keduanya tidak berpatokan pada duty of care sebagai sebuah perusahaan. Memang tidak ada standar yang baku mengenai duty of care ini. Akan tetapi, standar umum yang berlaku[36]:

1. Itikad baik (good of faith)

2. Loyalitas yang tinggi (high degree of loyality)

3. Kejujuran (honesty)

4. Peduli (care)

5. Kemampuan atau kecakapan (skill)

6. Peduli terhadap pelaksanaan hukum (care of law enforce-ment)

Berarti dalam hal ini pihak pembuat data palsu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Karena tanggung jawab sosial setiap perusahaan tidak dimaksudkan untuk merugikan, apalagi mematikan perusahaan, akan tetapi merupakan partisipasi perusahaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta untuk menciptakan keuntungan jangka panjang bagi kehidupan perusahaan dan dunia usaha nasional[37]. Pihak NMR dan pihak industri radio menjadi pihak yang dirugikan dengan adanya data palsu tersebut.

Pihak pembuat data palsu juga akan diminta pertanggungjawabannya oleh kedua pihak lain, baik itu oleh pihak industri musik maupun pihak media riset. Karena apabila perusahaan telah membelokkan keuntungan yang seharusnya diperoleh pihak lain menjadi keuntungan pribadi perusahaan, maka kepada perusahaan yang bersangkutan juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh pihak yang merasa dirugikan[38].

Contoh yang paling signifikan dari pelaku bisnis modern mengarah pada organisasi yang dimana diberikan bantuan hukum dengan kemampuan dan hak legal yang spesial[39]. Melihat dari kasus yang terdapat pada bab II, dapat dikatakan bahwa Neilsen Media Research (NMR) belum merupakan pelaku bisnis modern, karena haknya untuk membuat data seringkali dipalsukan oleh pelaku lain yang berarti NMR dirugikan dan dipandang sebelah mata kemampuannya.

Namun dalam hal ini, pihak industri radio yang dengan sengaja membeli data palsu tersebut juga dapat dikatakan sebagai “penjahat”. Mereka dapat dengan mudah merubah data yang tadinya buruk menjadi bagus, seperti merubah data tentang jumlah pendengar program radio. Apabila faktanya program radio tersebut kurang mendapat hati di masyarakat, maka pihak sponsor jelas dirugikan karena upaya mempromosikan barang atau jasanya melalui program tersebut sama saja tidak berguna. Di sisi lain, secara tidak langsung industri radio tersebut juga membodohi masyarakat umum dan konsumen dengan melakukan pembohongan publik.

Hak dan kewajiban perusahaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat ditegakkan dengan sanksi, sehingga pemerintah dapat melindungi perusahaan yang melakukan hak dan kewajibannya dengan baik terhadap kemungkinan tekanan-tekanan kekuasaan yang datang dari luar perusahaan[40]. Dalam hal ini untuk melindungi pihak yang dirugikan oleh pihak pembuat data palsu: pihak industri radio dan pihak NMR.

Pada akhirnya reputasi sebuah perusahaan dapat mengembangkan reputasi yang unggul dengan menciptakan dan memproyeksikan seperangkat kemampuan yang dilihat oleh stakeholder-nya sebagai sebuah inovasi, kesempurnaan operasi, kedekatan dengan pelanggan, dan tanggung jawab yang unik[41]. Karena reputasi mencerminkan bagaimana cara perusahaan berperilaku yang didasari pada bagaimana khalayak menghargai produk atau brand dari suatu perusahaan[42].

Perusahaan tidak lagi hanya mewujudkan citranya melalui kampanye atau public relation, tetapi seharusnya mampu menunjukkan akuntabilitasnya kepada kepentingan publik. Perusahaan yang akuntabel akan memperhatikan corporate social responsibility semaksimal mungkin, yang didukung oleh aparat perusahaan yang bersih (good corporate governance)[43].

Corporate social responsibility dan good corporate governance merupakan dua sisi mata uang. Tanpa adanya good corporate governance, maka tidak mungkin suatu corporate social responsibility dapat dilaksanakan[44].

Ada baiknya apabila ketiga pihak tersebut berusaha memiliki tanggung jawab sosial perusahanaan (corporate social responsibility). Adapun enam langkah implementasi corporate social responsibility (CSR) dalam suatu perusahaan[45]:

1. Komitmen awal.

2. Menganalisis kondisi eksternal perusahaan dan pengaruhnya terhadap bisnis.

3. Mengkaji tentang struktur internal, strategi, dan action plan.

4. Mengimplementasikan CSR.

5. Pengukuran dan pelaporan hasil.

6. Konsultasi dengan stakeholders.

Sikap ragu sebagian pelaku industri radio di Indonesia terhadap riset media seperti itu memang sah-sah saja. Kepercayaan terhadap hasil riset memang relatif, mengingat riset radio di Indonesia terbilang muda[46].

Di pihak lain, Neilsen Media Research (NMR) juga dituntut untuk mampu bertindak tegas. Karena suatu organisasi bisnis tidak perlu menunggu adanya tekanan dari pihak luar sebelum mereka bertindak untuk meningkatkan kinerja dan perilaku organisasi tersebut[47].

Akan lebih komprehensif memang bila hasil riset internal dilengkapi data riset independen yang dilakukan oleh lembaga riset media, seperti contohnya Neilsen Media Research (NMR). Hanya saja pihak riset media juga tidak dapat mengharuskan pihak industri radio untuk menggunakan hasil riset miliknya, karena sejauh mana validitas hasil riset itu bisa dipercaya tergantung metode riset yang digunakan[48]. Jadi, apabila pihak industri radio memiliki hasil riset internal yang sesuai dengan fakta maka hasil riset tersebut juga dapat dipergunakan.

Bagaimanapun data riset media berperan dalam meningkatkan kemajuan industri radio sendiri[49]. Yang pasti, kalangan radio sejak dini musti paham bahwa riset radio menjadi bahan koreksi bagi pelaku bisnis radio tersebut.

CSR termasuk salah satu faktor penting dalam menjalankan kegiatan perusahaan. Tidak hanya kesejahteraan stakeholder nya saja yang diperhatikan, lingkungan terlebih pelanggan juga harus diperhatikan. Bagi perusahaan-perusahaan yang sudah menerapkan konsep CSR akan mudah untuk keberlanjutan kegiatan usahanya, dengan melaksanakan CSR dalam kegiatannnya masyarakat akan mendukung kegiatan perusahaan tersebut.

Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan dalam bidang transportasi udara pada khususnya sebaiknya lebih memperhatikan aspek CSR dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dengan terbang dengan harga murah bukan berarti nyawa penumpang diartikan murah. Jika ingin tetap bertahan dan berkelanjutan dalam industri penerbangan, CSR benar-benar faktor penting yang sebaiknya mendapat perhatian lebih. Tanpa penumpang-penumpangnya maskapai penerbangan tidak mungkin dapat bertahan apalagi dengan persaingan yang ketat belakangan ini.




[1] Tanggung Jawab sebuah perusahaan terhadap aspek-aspek yang menyangkut perusahaan tersebut, tanggung jawab ini menitik beratkan pada lingkungan sosial sekitar.

[2]Alfred Frido, Praktek Bisnis Legal Yang Baik,” www.bisnis.go.id, 21 Februari 2008;

[3] Etika bisnis merupakan pola bisnis yang tidak hanya peduli pada profitabilitasnya saja, tapi juga memerhatikan kepentingan stakeholder-nya.

[4] Etika bisnis menjadi salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam dunia bisnis. Istilah etika bisnis dipahami sebagai sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil oleh bisnis dan pelaku bisnis. (Erni Rusyani Ernawan, S.E., M.M., dosen tetap kopertis FE Unpas)

[5] Pearce dan Robinson , 2007.

[6] Fred R. David, Concepts of Strategic Management, 1998.

[7] Floris A. Maljers, Mantan CEO Unilever.

[8] Porter, 1985.

[9] Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Sumber: Molengraaff, Leidraad I, cetakan 9, halaman 38;

[10] Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Sumber: Molengraaff, Leidraad I, cetakan 9, halaman 38;

[11] Baru ada perusahaan, bila diperlukan adanya perhitungan-perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan. Sumber: Polak, Handboek I, cetakan 5, halaman 88;

[12] Sesuatu yang tidak berhingga (infinit) dan mencakup seluruh elemen diluar suatu organisasi, seluruh elemen yang berada diluar batas organisasi yang berpotensi untuk mempengaruhi sebagiab ataupun organisasi secara keseluruhan;

[13] Lubis, Huseini, Teori Organisasi Modern, Hal 45, 1992;

[14] Ichsan, Ahmad I, cetakan 3, halaman 99;

[15] Pandangan ini mengemuka di Amerika Serikat dan diikuti oleh Negara-negara penganut aliran ekonomi pasar terbuka atau kapitalis;

[16] Pandangan ini banyak mengemuka di Negara-negara Eropa, termasuk Inggris dan Negara-negara commonwealthnya;

[17] Budi. “Radio Buruk, Data Riset ‘Dibelah’ ”. http://kangbudi.wordpress.com; diakses pada tanggal tanggal 21 Februari 2008.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Ibid.

[30] Ibid.

[31] Try Widiyono. “Direksi Perseroan Terbatas; Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab”. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005. Hal 35

[32] Henry Campbell Black. “Black’s Law Dictionary”. Sixth Edition, West Kellgg Boulevard, ST. Paul Minn: West Publishing Co, 1990. Hal 1033

[33] Opcit. Hal 36

[34] Ultravires diartikan sebagai “bertindak melebihi kewenangannya”. Ruhandoko. “Terminologi Hukum”. Jakarta: Sinar Graphia, 2000. Hal 552

[35] Opcit. Hal 43

[36] Ibid. Hal 38

[37] H.W. Tampubolon, Soemargono K. dan Priasmoro P., “Konglomerasi Ekonomi Indonesia Dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Indonesia”. Jakarta: LPSI, 1994. Hal 64

[38] Opcit. Hal 42

[39] Velasques, Manuel G. “Business Ethics; Concepts and Cases”. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall International Inc, 1998. Hal 14

[40] H.W. Tampubolon, Soemargono K. dan Priasmoro P., “Konglomerasi Ekonomi Indonesia Dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Indonesia”. Jakarta: LPSI, 1994. Hal 64

[41] Chadd Mclisky. “Realizing the Importance of Reputation Management”. disampaikan pada saat seminar PR Vaganza, Nikko Hotel, Jakarta, 25 Januari 2006.

[42] Tom Duncan. “Integrative Marketing Communication; Using Advertising and Promotion to Build Brand Brands”. New York: The McGraw-Hill, 2002. Hal 540

[43] Bambang Rudito, Arif Budimanta dan Adi Prasetijo. “Corporate Social Responsibility: Jawaban Bagi Model Pebangunan Indonesia Masa Kini”. Jakarta: ICSD, 2004. Hal 106

[44] Ibid. Hal 106

[45] British trade and industry ministry, diadaptasi oleh World Bank Institute.

[46] Budi. “Radio Buruk, Data Riset ‘Dibelah’ ”. http://kangbudi.wordpress.com; diakses pada tanggal tanggal 21 Februari 2008.

[47] Colin Fisher, dan Alan Lovell. “Business Ethics and Values”. London: Prentice Hall, 2003. Hal 2

[48] Opcit.

[49] Ibid.