Moral identik dengan perilaku, perbuatan, dan sepak terjang manusia selama hidup. Moral personal akan mempengaruhi moral sosial, moral sosial akan mempengaruhi moral bangsa, dan moral bangsa akan mempengaruhi moral dunia. Moral akan membentuk tradisi dan kebudayaan. Kebudayaan akan membentuk warna ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik. Di tengah globalisasi dengan ciri utamanya kapitalisme, moral-moral luhur dalam masyarakat habis dibabat nilai konsumerisme, materialisme, permisivisme, hedonisme, yang semua itu bermula dari sekularisme. Hampir dalam seluruh sektor kehidupan, terutama perekonomian, pola konsumsi, budaya, pola pikir; telah ditumbuhkembangkan dengan cara-cara kapitalis. Kapitalisme[1] yang tumbuh kembang dengan baik di negara-negara Barat juga telah banyak mempengaruhi negara-negara dunia ketiga/negara berkembang, yang sebenarnya kebanyakan belum siap terhadap sistem kapitalisme, untuk tumbuh dengan cara-cara kapitalisme, khususnya dalam hal perekonomian.
Realitas minor ini disebabkan kemunduran dan keterbelakangan masyarakat di kebanyakan negara berkembang dan miskin, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ekspansional dan spektakuler kapitalisme. Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena yang sesungguhnya krusial ini. Masyarakat kehilangan legitimasi dan kharisma moralnya di tengah kompetisi ekonomi dan teknologi, sehingga masyarakat lebih terbius kemajuan-kemajuan yang diciptakan kapitalisme yang menjanjikan kenikmatan, kepuasan, liberalitas, progresivitas, dan hedonitas daripada fatwa moral yang sifatnya imbauan saja, tanpa sanksi.
Mayoritas masyarakat silau akan kemajuan peradaban hasil kapitalisme lalu mengambilnya secara utuh, tanpa koreksi dan seleksi terlebih dahulu. Pengaruh keilmuan dan teknologi memang luar biasa. Masyarakat semakin mengacuhkan sebagian bahkan hampir keseluruhan kaedah moral sosial maupun agama mereka dan berubah menjadi individu yang lepas satu sama lain, terasing, dan frustasi. Teknologi telah mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan secara perlahan-lahan namun pasti. Moral terdiri dari seperangkat peraturan yang memonitor perilaku manusia serta menetapkan sesuatu perbuatan mana yang buruk atau yang baik atau bermoral. Segi moral dapat diambil sebagai tolok ukur dalam menilai suatu perilaku, atau setiap tindakan dapat ditinjau segi moralnya.[2] Demikian halnya dengan sistem ekonomi kapitalis, dapat ditinjau segi moralitasnya melalui ketentuan-ketentuan mendasar dalam hukum bisnis.
Masyarakat dunia dewasa ini kebayakan dihadapkan pada suatu paradigma akan sebuah dunia di mana kejayaaan akan kemajuan-kemajuan sedang diciptakan pada kadar yang tidak dapat dibayangkan oleh generasi-generasi dahulu. Kejayaan-kejayaan teknologi, seperti internet, yang telah banyak membantu efisiensi penyampaian informasi hingga lintas benua, kejayaan perbaharuan teknologi produksi dari masa ke masa yang selalu mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektifitas produksi barang dan jasa, kejayaan bidang kesehatan dalam penemuan dan penciptaan medical tools (obat-obatan, alat-alat kesehatan), sedang berkembang dengan pesat.
Semua itu, hampir dapat dipastikan merujuk sebagai hasil daripada kejayaan sistem kapitalis, sehingga terdapat suatu paradigma bahwa sistem inilah yang telah membawa umat manusia mencapai tahap kemajuan yang tinggi dan seakan-akan menjadikan sistem kapitalis sebagai sebuah sistem sempurna yang tidak lagi dapat diubahkan. Masyarakat semakin terbawa arus, kehilangan identitas dan jati diri, terhipnotis hasil-hasil kejayaan. Seks bebas, pergaulan bebas, narkoba, miras, lesbianisme, homoseksual, dan lainnya, menjadi pemandangan yang dapat kita jumpai setiap saat.
Desakralisasi moral menjadi realitas sosial yang sulit untuk dibendung. Struktur sosial dan kultural saat ini sudah tidak mampu lagi membendung fenomena krusial ini. Efek dan implikasi proyek globalisasi informasi, kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi pada moral umat manusia sudah sangat dahsyat, bahkan tidak mampu diantisipasi oleh kelompok kultural yang selama ini berjuang di level civil society, yang mana tercipta ketidakberdayaan menghadapi superioritas, dominasi, hegemoni, dan determinasi kapitalis yang hedonis-permisif lewat liberalisasi ekonomi dan informasi.[3]
Tak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme telah memberikan begitu banyak hasil positif bagi peradaban umat manusia. Kemudahan fasilitas hidup, perkembangan teknologi, variasi produk, infrastruktur, menjadi bukti bahwa kapitalisme menunjukkan perannya yang signifikan dalam sejarah peradaban umat manusia. Namun terlepas dari hal itu semua, tak juga salah ketika ternyata dalam analisa, dibalik kesuksesan kapitalisme memberikan kemajuan ekonomi bagi manusia, ada kerancuan atau bahkan kontradiktif yang pada hakikatnya menghancurkan kesuksesan tadi.
Sepanjang abad 20, masa pembangunan ekonomi kapitalisme, selain megahnya pembangunan fisik ekonomi, ternyata terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan bahwa sistem kapitalisme memberikan goncangan-goncangan ekonomi dan implikasi-implikasi negatif. Jeratan hutang di hampir seluruh negara berkembang, kemiskinan yang semakin meluas di negara dunia ketiga, dan krisis-krisis ekonomi khususnya sektor keuangan tak putus-putusnya menyerang perekonomian dunia. Bahkan krisis-krisis ekonomi tersebut, setelah runtuhnya kesepakatan Breeton Woods (1971) atau runtuhnya Smithsonian Agreement (1973), semakin tinggi frekuensi kekerapannya. Dalam interaksi ekonomi internasional terlihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis menciptakan kondisi kompetisi yang tidak sehat dalam percaturan ekonomi dunia, bahkan wujud kecenderungan eksploitasi ekonomi dari sekelompok negara terhadap sekelompok negara yang lain.[4] Sehingga kekacauan ekonomi yang cenderung diciptakan oleh ekonomi kapitalis, wujud bukan hanya dalam perekonomian lokal tapi juga menggurita dalam perekonomian dunia secara menyeluruh. Ketimpangan ekonomi diantara negara-negara dunia bahkan kemudian bukan sekedar menjelma menjadi eksploitasi ekonomi tapi meluas pada wilayah hukum, sosial budaya dan bahkan politik.
Kapitalisme merujuk pada sebuah sistem ekonomi yang filsafat sosial dan politiknya didasarkan kepada azas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya serta perluasan faham kebebasan.[5] Kapitalisme berkaitan erat dengan sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal) yang berupa kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya.[6]
Kapitalisme tidak hanya sebagai sistem sosial yang menyeluruh atau sekedar sistem perekonomian, melainkan memiliki kontribusi sebagai bagian dari gerakan individualisme.[7] Kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi[8] semakin menegaskan bahwa kapitalisme merujuk pada suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat (a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned).[9]
Heilbroner[10] secara dinamis menyampaikan bahwa kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas[11] dengan menyampaikan bahwa kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme). Di dalam sistem kapitalis, para pemproduksi tidak sekedar menghasilkan bagi keperluannya sendiri maupun untuk kebutuhan individu-individu yang mempunyai kontak pribadi dengan mereka; kapitalisme melibatkan pasar pertukaran (exchange market) yang mencakup nasional atau bahkan sering juga mencakup dunia internasional.[12]
Max Weber memberikan pemahaman bahwa usaha kapitalis sebagai suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan pada suatu pasar dan dipacu untuk menghasilkan laba dengan adanya pertukaran di pasar.[13] Kapitalisme berakar pada uang dan ini adalah cara khusus untuk mengelola produksi. Terdapat beberapa negara yang menggunakan metode yang sama, antara lain: Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman. Negara-negara ini menggunakan Ideologi Kapitalisme, tetapi Amerika Serikat yang paling dominan diantaranya.
Sistem kapitalisme dunia sebagai suatu keseluruhan merujuk pada proses akumulasi modal di negara-negara maju. Kapitalisme bermula dari akumulasi modal primer yang bermodalkan penciptaan angkatan buruh upahan melalui penguasaan terhadap kaum tani dan penumpukan modal yang mudah dicairkan.[14] Setelah itu, mulailah proses akumulasi modal yang diperoleh dari hasil lebih buruh upahan yang telah dikuasai oleh kaum kapitalis dan kemudian diakumulasikan menjadi modal tambahan.
Bentuk produksi kapitalis yang paling awal, manufaktur dimana terdapat sejumlah pekerja dengan spesialisasi dan pembagian kerja. Di bawah pengaruh Revolusi Industri pada tahun 1750-1850 di Inggris, manufaktur memberikan jalan bagi industri untuk beralih dari tenaga buruh ke tenaga mesin. Perkembangan teknologi di bidang industri, transportasi, dan komunikasi, memungkinkan dan menuntut adanya perluasan secara terus menerus dalam ukuran unit yang ada dalam produksi kapitalis.
Adanya kapitalisme dalam tahap kecil atau kerjasama yang menandai tahap-tahap awal perkembangannya, memberikan jalan bagi terbentuknya korporasi, suatu bentuk organisasi yang memungkinkan suatu konsentrasi dan sentralisasi modal yang tak terbatas. Dalam tahap kompetitif, masing-masing perusahaan tumbuh dengan berbagai biaya, mencari keuntungan yang lebih besar, dan menambah kapasitas investasi untuk menghasilkan produk dengan harga di bawah harga pasar yang berlaku. Akan tetapi ketika sejumlah perusahaan berhasil maju dan yang lainnya tertinggal, maka fungsinya berubah sedikit demi sedikit.
Dalam tahap kompetitif kapitalisme, akumulasi modal selalu cenderung melampaui ekspansi pasar. Akibatnya, krisis periodik dan depresi yang berdampak banyak modal dilikuidasi. Masalah ketidakseimbangan antara akumulasi dan ekspansi pasar ini menjadi jelas dalam kapitalisme monopoli.[15] Kelanjutan eksistensi kapitalisme monopoli tergantung pada tingkat produksi dan penyerapan tenaga yang dapat dibenarkan secara politis.
Mekanisme pasar dalam masyarakat-masyarakat yang diklasifikasikan sebagai kapitalis benar-benar dibentuk oleh korporasi-korporasi dan serikat buruh yang cenderung monopolistis dan kedatangan “negara pajak” secara besar-besaran telah membuat alokasi politik menjadi faktor yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat kapitalis ini.[16] Secara umum, tidak ada masyarakat yang diklasifikasikan kaum kapitalis termasuk semua negara di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Di beberapa negara sosialis, terdapat usaha besar-besaran untuk memperkenalkan mekanisme pasar ke dalam ekonomi terpimpin yang resmi. Tetapi di negara-negara yang tidak membuat konsesi-konsesi semacam itu sekalipun, mekanisme pasar terbukti memiliki jalan untuk merayap masuk. Kapitalisme mulai merambat masuk ke dalam perekonomian sosialis. Begitu pula sebaliknya, dengan adanya tekanan-tekanan politik terhadap pasar, masyarakat kapitalis yang juga masyarakat demokrasi memerlukan kebijakan politik.
Kapitalisme dapat juga dinyatakan sebagai suatu sistem ekonomi tertentu yang secara empiris menampakkan diri bersama-sama dengan fenomena sosial lain.[17] Dalam bentuknya yang modern, kapitalisme terkait dengan teknologi dan terkait juga dengan perubahan-perubahan yang sangat luas dalam kondisi kehidupan material manusia yang disebabkan oleh teknologi. Kapitalisme juga terkait dengan sistem stratifikasi baru yang didasarkan atas kelas, suatu sistem politik baru yang terdiri dari negara-negara baru dan lembaga-lembaga demokrasi serta suatu budaya baru. Semua unsur ini saling berhubungan dalam moral ekonomi kapitalisme.
Kapitalisme dengan karakternya yang mencari laba akan terus mencari lingkungan yang produktif, lebih kompetitif, dan area yang lebih luas untuk terus beroperasi. Itu sebabnya, kapitalisme dipandang sebagai penyebab segala masalah yang muncul saat ini. Kapitalisme telah menggiring aktivitas kerja menjadi kegiatan dehumanisasi[18].
Dalam hal perburuhan pun, buruh telah menjadi komoditas yang dipaksa bersaing dengan komoditas lainnya. Sebagai contoh, Kenya, negara di Afrika yang sudah terjebak selama beberapa tahun dalam lingkaran kapitalisme ini. Kenya telah memperkerjakan anak-anak sebagai buruh dalam beberapa sektor kegiatan ekonomi untuk membayar utang kepada Bank Dunia dan IMF. Akibatnya, anak-anak tersebut kehilangan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Kapitalisme global telah menyebabkan kemunduran bagi negara ini.
Unsur yang paling penting dalam kapitalisme sebagai suatu sistem pokok dan primer dari orientasi perilakunya menimbulkan dorongan kebutuhan untuk menarik kekayaan dari kegiatan-kegiatan produktif masyarakat dalam bentuk kapital. Gagasan umum mengenai adanya suatu batas minimum kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan masyarakat dijadikan suatu konsep dasar dari perekonomian politik klasik yang tidak bisa dibantah.[19]
Pada sistem kapitalisme, alat-alat produksi atau sumber-sumber yang terbatas dimliki oleh individu dan lembaga swasta. Terdapat pembatasan atas penggunaan hak milik privat tersebut. Kapitalisme, sebuah perekonomian individualistis, yang menjadi pendorong bagi usaha ini untuk memenuhi kepentingan diri sendiri. Peran pemerintah dalam sistem kapitalisme terbatas karena kepemilikan modal sebagian besar dimiliki oleh pihak swasta.
Kapitalisme, muncul dalam keadaan yang sangat terkait dengan kelimpahruahan material peradaban industri maju, sistem kelas yang amat dinamis, demokrasi politik dan serbuan pola-pola budaya, misalnya individualisme.[20] Kapitalisme bukan hanya suatu unsur pengalaman, tetapi juga merupakan suatu konsep yang secara khas berisi penilaian-penilaian, baik negatif maupun positif.
Ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi: disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia, namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.
Ilmu ekonomi merujuk pada ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi dipahami sebagai studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud merujuk pada segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis.
Dasar filosofis pemikiran ekonomi kapitalis[21] sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup. Smith berpendapat bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi berasal dari dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar.
Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Kapitalisme merujuk pada sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.[22]
Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Para individu memperoleh perangsang agar aktiva mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin. Hal tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Ini memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain.
Dengan demikian kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat.[23]
Ada yang mengungkapkan kontraksi-kontraksi ekonomi sebagai sebuah kewajaran, baik berupa krisis ekonomi, resesi atau bahkan depresi. Kontraksi ekonomi tersebut dipercayai mampu memperkokoh sistem ekonomi pada masa selanjutnya, dimana sebuah krisis secara logis menunjukkan kelemahan yang ada dalam struktur ekonomi yang ada sehingga diperlukan sebuah kebijakan yang kemudian secara tak langsung memperkokoh bangunan ekonomi. Namun ternyata krisis kini semakin sering terjadi.
Kontradiksi kemajuan ekonomi pada dasarnya bersumber dari paradigma dasar pengembangannya. Disini akan dijelaskan sedikit apa yang menjadi hakikat mendasar, motivasi, dan paradigma ekonomi konvensional. Ekonomi merujuk pada segala tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas. Dari pemahaman ini ada dua makna yang didapat.
Pertama, ini menyiratkan tingkah laku manusia terfokus sebagi tingkah laku yang bersifat individual. Kedua, bahwa tingkah laku manusia itu bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas.
Pemahaman ini berkembang dari pemahaman motif-motif ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi konvensional. F.Y. Edgworth (1881) menjadi tokoh utama yang mengemukakan motif self interest (egoism) dari prilaku ekonomi manusia . Namun hal ini juga sebenarnya sudah dijelaskan secara garis besar oleh Herbert Spencer (1879) dan Henry Sidgwick (1874) .
Sebenarnya hal ini merupakan kelanjutan dari pemikiran Jeremy Bentham (1748-1823) tentang utilitarianism. Jeremy Bentham (1748-1823) rasionalitas berpegang pada prinsip maximizing pleasure minimizing pain. Dengan demikian, asumsi yang digunakan oleh Bentham merujuk pada kesenangan yang paling besar yang jumlahnya paling banyak (the greatest happiness of the greatest number). tindakan yang baik adalah segala tindakan yang mengarahkan manusia menambah jumlah kesenangan, sementara tindakan yang tidak mengarah kepada kesenangan atau yang mengurangi jumlahnya adalah tindakan yang tidak baik. Banyak ahli ekonomi yang terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.[24]
Ekonomi konvensional (kapitalisme) berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia.[25] Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan visi, melakukan satu titik balik peradaban, dengan membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari pemahaman mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth memiliki alasan kuat bahwa hanya egoisme lah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi perilaku manusia (egoistic behaviour).
Alasan ini juga yang menjawab hipotesa-hipotesa yang dikemukakan Herbert Spencer dalam menganalisa hubungan antara egoisme (individualistic) dan altruisme (collectivity). Perilaku ekonomi yang diwarnai oleh moral sebenarnya pernah menjadi diskusi hangat dalam ekonomi konvensional, namun karena kesulitan menentukan alat ukur, maka wacana beralih dari moralitas ke sesuatu yang lebih materi / kuantitatif: egoisme.
Dipahami bahwa ekonomi memisahkan aktivitas moral dalam pembahasan dan pengembangan ekonomi. Pada akhirnya ekonomi hanya mengenal instrumental yang bersifat terukur dan konsisten dalam pengembangannya, oleh sebab itu nilai dasarnya cenderung menggunakan egoisme dan utilitarianisme yang fokus pada pengejaran kepentingan pribadi[26].
Landasan nilai egoisme ini kemudian menjadi motif ekonomi menggunakan pendekatan rasional (rational choice). Pendekatan rasional ini sebenarnya menunjukkan konsistensi internal dari moral seorang individu dalam berperilaku, dengan landasan inilah kemudian secara substansi ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan.
Kapitalisme beserta karakter moraliitas yang dikandungnya lebih dari sekedar sistem ekonomi atau sistem sosial. Dalam kaitannya dengan peradaban, kapitalisme dapat dikatakan sebagai suatu cara keberadaan manusia, suatu modus eksistensi. Pelaksanaan kapitalisme memang masih dapat bertahan hingga sekarang karena berbagai kekuatannya, tetapi pelaksanaan sistem ini secara terus menerus dapat mengakibatkan kejatuhan. Hal ini bukan tidak mungkin, karena jika setiap orang hanya mementingkan dirinya sendiri saja, pemilik modal atau kaum kapitalis hanya bertujuan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kaum buruh di bawahnya, kapitalisme akan membawa dunia kepada lembah kejatuhan yang paling dalam.
Dalam skala kecil, besarnya kesenjangan antara pemilik kapital dan para pekerja yang terdapat dalam sistem kapitalisme dapat diminimalisasikan dengan adanya sebuah sistem kerja yang lebih baik untuk para buruh atau pekerja. Salah satu caranya, setiap pembentukan suatu produk hukum dan perundang-undangan harus lebih berpihak pada kaum buruh sehingga dapat menyejahterakan mereka. Selain itu, kesejahteraan kaum buruh dapat lebih ditingkatkan dengan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis demokratis yang dijalankan secara terpadu dan berkesinambungan. Kapitalisme demokratis menjadikan kaum buruh ikut serta secara aktif dalam mengelola produksi. Prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya dapat membantu para buruh untuk tidak terlalu bergantung pada kaum kapitalis atau pemilik modal.
[1] Sistem perekonomian yang mengakui adanya kebebasan secara penuh kepada tiap-tiap individu untuk melaksanakan kegiatan perekonomian, baik memproduksi, menjual, menyalurkan, barang dan jasa dalam perekonomian. Sistem ini sangat mengandalkan peranan sentral modal dalam proses produksi. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Kapitalisme muncul sebagai rangkaian kegiatan-kegiatan niaga dan perdagangan. Fernand Braudel, Civilizaton and Capitalism, Haper & Row, New York, 1982, 1984.
[2] O. P. Simorangkir, Etika: Bisnis, Jabatan, dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
[3] Telah dimuat dalam Harian Suara Merdeka, 22/09/06, IC). www.gp-ansor.org/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 15.35 WIB.
[4] http://abiaqsa.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 15.40 WIB.
[5] Ainu Amri Tanjung, Al-Islam, Pusat Komunikasi dan Informasi Islam Indonesia,www.alislamu.com, diakses pada 8 Februari 2008.
[6] Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.
[7] Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.
[8] Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.
[9] Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.
[10] Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan), LP3ES, Jakarta, 1991.
[11] Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press, Cambridge Oxford, 1988.
[12] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Moderrn (terjemahan), Penerbit Universitas Indonesia Press.
[13] Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis , Jakarta: LP3ES, 1990, hal.21.
[14] Modal cair diperoleh dari rampasan dan keuntungan yang diperas dari negara-negara yang tergantung.
[15] Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis , Jakarta: LP3ES, 1990, hal.24.
[16] Ibid, hal.25.
[17] Anthony Giddens, Marx, Webber, and the development of capitalism, vol. 4, 1970, hal. 196.
[18] Dehumanisasi berarti menjadikan manusia sebagai komoditas.
[19] Robert L.Heilbroner, Hakikat dan Logika Kapitalisme , Jakarta: LP3ES, 1991, hal.19.
[20] M. Dawam Rahardjo, Kapitalisme: Dulu dan Sekarang, Jakarta: Pribumi, 1987, hal.16.
[21] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, 1776- www.islamic-economic.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 14.20 WIB.
[22] Milton H. Spencer , Contemporary Economics, 1977- www.islamic-economic.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 14.25 WIB.
[23] www.islamic-economic.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 14.40 WIB.
[24] Paul Omerod, The Death of Economics ,1994-Dikaji oleh Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana PSTTI UI, dalam Kematian Ilmu Ekonomi Kapitalisme dan Peluang Ekonomi Syariah, www.jurnal-ekonomi.org/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 17.15 WIB.
[25] Fritjop Chapra , The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture, 1999, dan Ervin Laszio, 3rd Millenium, The Challenge and The Vision ,1999- Dikaji oleh Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana PSTTI UI, dalam Kematian Ilmu Ekonomi Kapitalisme dan Peluang Ekonomi Syariah, www.jurnal-ekonomi.org/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 17.15 WIB.
[26] Alfred Marshall, Principles of Economics, 1890- http://abiaqsa.blogspot.com/Diunduh pada 29 Februari 2008 pukul 17.05 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar